Jakarta,-
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bekerja bersama dengan 11 Kementerian/Lembaga dan sejumlah organisasi/lembaga masyarakat meluncurkan “Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak.”
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise mengajak pemerintah pusat dan daerah, orang tua, lembaga, masyarakat, dunia usaha dan media untuk turut mendukung gerakan bersama yang akan segera dilaksanakan di lima wilayah di Indonesia.
Perkawinan anak merupakan pelanggaran hak-hak anak perempuan dan anak laki-laki di Indonesia. Menurut Unicef, Indonesia menduduki peringkat ke tujuh di dunia dalam kasus perkawinan anak).
“Tingginya perkawinan anak di Indonesia ini sangat berdampak besar dalam peningkatan angka kematian ibu dan bayi, putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, dan kemiskinan, serta turut berkontribusi dalam rendahnya Index Pembangunan Manusia (IPM),” tutur Yohana Yembise, Menteri KPPPA.
Lebih lanjut Yohana Yembise juga menungkapkan fakta bahwa anak-anak yang sudah dinikahkan biasanya akan putus sekolah setelah mengandung, karena mereka malu dan takut terkena bullying. Pada akhirnya banyak anak putus sekolah dan turut berkontribusi dalam penurunan IPM Indonesia.
Selain terkait pada bidang pendidikan, perkawinan anak juga berdampak pada kesehatan reproduksi. Kehamilan yang terjadi pada usia anak mempunyai resiko medis yang lebih besar dibandingkan orang dewasa karena alat reproduksi yang belum cukup matang untuk melakukan fungsinya.
Hasil kajian dari penelitian di Kanada dan Indonesia mengungkapkan bahwa usia rahim prima secara fisik berada pada usia di atas 20 tahun dan kurang dari 35 tahun. Sehingga dampak yang paling besar dirasakan adalah peningkatan jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
“AKI di Indonesia saat ini 359 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2012), dan Indonesia telah menempati posisi yang tinggi AKI dan AKB-nya jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya,”ungkap Yohana.
Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak, Lenny N Rosalin mengatakan bahwa persoalan perkawinan anak berdampak pada banyak faktor. “Sebelum membenahi masalah AKI dan AKB yang tinggi, meningkatkan kualitas pendidikan dan IPM Indonesia, seharusnya kita benahi inti dari permasalahan tersebut terlebih dahulu, yaitu perkawinan anak.” Tutur Lenny.
Menurut Lenny, walaupun terjadi penurunan kasus perkawinan anak yang di tahun 2013 sekitar 43,19% dan berkurang menjadi 34,23% di tahun 2014. Penurunan ini secara kuantitatif belum terlihat signifikan. Berdasarkan data BPS jumlah perkawinan usia anak di daerah perdesaan sepertiga lebih tinggi dibandingkan di daerah perkotaan (masing-masing untuk perkotaan 17,09 persen dan perdesaan 27,11 persen pada tahun 2015).
Provinsi Sulawesi Barat, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat merupakan lima provinsi tertinggi yang memiliki rata-rata tertinggi untuk persentase perkawinan usia anak di bawah 15 tahun.
Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak ini akan dilakukan sepanjang bulan November di lima kota besar dengan angka perkawinan anak tinggi, yaitu Provinsi NTB, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Kerjasama organisasi/lembaga masyarakat, pemerintah daerah, provinsi, kabupaten/kota, media dan dunia usaha, diharapkan melalui kegiatan roadshow di lima kota dapat mengubah mindset para pengambil keputusan maupun masyarakat bahwa perkawinan anak sangat merugikan bagi negara, masyarakat bahkan bagi anak itu sendiri beserta keluarganya.
“Kami berharap Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak dapat menyadarkan semua pihak bahwa Indonesia memiliki komitmen untuk menghentikan praktik perkawinan anak, agar anak Indonesia lebih berkualitas dan terwujud Indonesia Layak Anak 2030 menuju Generasi Emas 2045.” Tutup Yohana.
(tjo; foto ist