Menjadikan KH Noer Ali diakui sebagai pahlawan nasional bukanlah perkara mudah. Diperlukan proses panjang sehingga nama pejuang Bekasi itu diakui sebagai Pahlawan Nasional.
Menurut sejarawan Ali Anwar, pengajuan KH Noer Ali sebagai pahlawan nasional sudah dimulai lebih dari 10 tahun lalu. Kebetulan, itu berdasarkan penelitian yang dibuatnya. Lalu diajukan ke tim penilaian pahlawan nasional.
“Jadi orang itu jadi pahlawan nasional enggak ujuk-ujuk,” ujar Ali.
Sejak tahun 1994, nama KH Noer Ali mulai diajukan untuk menjadi pahlawan nasional ke Pemerintah Bekasi. Kemudian, pengajuan tersebut diteruskan kepada pemerintah provinsi hingga ke pemerintah pusat. Pengajuan pada saat itu belum berhasil menjadikan KH Noer Ali sebagai pahlawan nasional.
Prediden Soeharto saat itu, dia hanya memberikan penghargaan Bintang Nararya, sebuah tanda kehormatan tertinggi untuk menghargai pihak yang secara luar biasa menjaga keutuhan Indonesia. Bintang Nararya, evelnya satu tingkat di bawah pahlawan nasional, ujar Ali.
KH Noer Ali kembali diajukan sebagai pahlawan nasional setiap tahun. Hingga pada 2006, KH Noer Ali berhasil mendapatkan predikat sebagai Pahlawan Nasional, sekaligus penghargaan Bintang Mahaputra Adipadana juga. Jadi tahun 2006 itu dia dapat dua sekaligus, kata Ali.
Meskipun demikian, menurut Ali, banyak persyaratan yang harus dipenuhi agar Noer Ali bisa diakui negara sebagai Pahlawan Nasional. Salah satunya, tokoh tersebut tidak boleh berkhianat pada negara. Mengenai hal itu, dia yakin Noer Ali sudah memenuhi syarat tersebut.
Ali Anwar menceritakan kisah kepahlawanan Noer Ali. Ketika itu, Bekasi, Karawang, hingga Cikampek dikuasai oleh Belanda. Basis pertahanan negara di tiga wilayah itu sudah porak poranda dihancurkan Belanda. Tidak ada lagi kekuatan militer di kawasan Bekasi saat itu. Kemudian, Noer Ali maju sebagai seorang putra daerah yang memperjuangkan kedaulatan daerah kelahirannya. Noer Ali pun berangkat ke Yogyakarta untuk menemui Jenderal Sudirman. Tujuannya adalah meminta saran atas permasalahan di Bekasi dan Karawang.
Sepulang dari Yogyakarta, dia pun membuat basis perlawanan masyarakat tanpa mengenakan embel-embel dan seragam TNI. Kelompok perlawanan masyarakat itu dia namakan Hizbullah Sabilillah Jakarta Raya. Kenapa tidak pakai seragam TNI? Karena kalau ketahuan Belanda, pasti langsung dilibas. Jadi ini istilahnya kekuatan rakyatlah, ujar Ali.
Selama hidupnya, Noer Ali juga pernah menjadi koordinator Jatinegara, jabatan setingkat bupati pada waktu itu. Dulu, Jatinegara masih termasuk wilayah Bekasi. Dia juga bersama temannya membuat badan kerja sama antara ulama dan militer di tahun 1958. Setelah G30S, Noer Ali bikin Majelis Ulama Jawa Barat. Waktu itu belum ada MUI, jadi cikal bakal MUI itu ya di Jawa Barat oleh KH Noer Ali, tutur Ali.
Adapun Noer Ali lahir dan wafat di Bekasi. Jejak nilai dan perjuangannya kini bisa dilihat di Pesantren Ataqwa. Pesantren itu dibangun Noer Ali di dekat kediamannya dulu, di Ujung Malang yang kini bernama Ujung Harapan. Pesantren tersebut kini dikelola oleh anak Noer Ali yang bernama KH Amien Noer. Sampai saat ini, Noer Ali dikenal dengan banyak julukan, di antaranya Singa Karawang Bekasi dan Belut Karawang Bekasi. Dijuluki sebagai belut karena dia sangat “licin” dan tidak mudah ditangkap Belanda.
Nama Noer Ali kini diabadikan sebagai nama jalan di Bekasi. Sayangnya, Jalan KH Noer Ali lebih dikenal dengan sebutan Jalan Kalimalang.
(ist/foto ist