Bekasi,-
Bagi yang mendambakan rumah impian, pasti tidak asing lagi dengan istilah KPR (Kredit Kepemilikan Rumah). Karena memang KPR ini merupakan alternatif pilihan dalam membeli rumah. Tentunya KPR ini begitu banyak diminati karena menjadi solusi bagi orang yang belum mampu membeli rumah secara cash/tunai.
Sudah menjadi hal yang umum kita perhatikan di jalan-jalan bertebaran spanduk penawaran rumah beserta bunga KPR yang menyertainya. Namun tahukah bahwa ternyata ada beberapa hal yang merugikan di sisi nasabah apabila mengambil KPR secara konvensional (baca: menggunakan bank). Setidaknya ada 5 hal yang membuat nasabah tidak nyaman bahkan merugi apabila memutuskan untuk mengambil rumah melalui KPR Konvensional.
1. Proses BI Checking yang ribet dan melelahkan
BI Checking adalah tahap awal jika mau mengajuakan KPR ke bank. Dalam tahap ini saja, prosesnya bisa memakan waktu berminggu-minggu. Karena memang bank akan memverifikasi data-data yang ada secara mendalam. Bagi yang berprofesi sebagai pegawai tetap mungkin hal ini tidak terlalu menjadi persoalan. Karena kelengkapan data sudah disediakan oleh kantor.
Namun bagi saudara-saudara lainnya yang memiliki pekerjaan sebagai wirausaha mikro ataupun pedagang, syarat yang diperlukan sungguh berat dan sifatnya wajib dipenuhi. Seperti izin-izin usaha lengkap, laporan keuangan yang mendalam, serta aliran kas usaha yang stabil. Gagal memenuhi salah satu kriteria tersebut, maka pengajuan ditolak. Dan impian memiliki rumah harus dikubur dalam-dalam.
2. Denda keterlambatan membuat biaya yang dikeluarkan untuk memiliki rumah tersebut menjadi membengkak
Ketika pengajuan sudah diterima, dan sudah mulai tahap mencicil, maka tak boleh ada kata terlambat membayar cicilan meski hanya sehari. Jika terlambat, maka akan dikenakan denda yang besarnya bervariasi tergantung kebijakan bank yang menyediakan fasilitas KPR. Umumnya, denda dikenakan per hari keterlambatan.
Tentu saja hal ini membuat biaya yang dikeluarkan untuk memiliki rumah tersebut jadi semakin tinggi dan tidak bisa diprediksi. Tak ada dispensasi maupun toleransi untuk keterlambatan tersebut, walau kondisi keuangan keluarga sedang sulit.
3. Teror Debt Collector yang siap menghantui bila telat membayar selama beberapa bulan
Ketika sudah tidak mempu membayar cicilan dikarenakan alasan apapun, maka bersiap-siaplah menghadapi para debt collector yang memang disewa bank dengan tujuan agar nasabah segera membayar angsuran yang tertunggak. Dalam hal ini _debt collector_ tersebut diberi wewenang menggunakan segala macam cara agar nasabah merasa terpojok, tidak nyaman, terancam dan takut apabila menunda pembayaran lebih lanjut lagi.
Mungkin ada yang merasa berani untuk menghadapi teror dari _debt collector_ tersebut. Namun, coba bayangkan apabila yang menghadapi adalah anak, istri atau orang tua yang sedang berada di rumah. Apakah mereka merasa aman, nyaman, dan tentram untuk tinggal di rumah tersebut?
4. Resiko Sita jika gagal bayar
Jika nasabah tidak mampu melanjutkan cicilan dikarenakan alasan apapun, maka bersiap-siaplah untuk mengosongkan rumah. Ya, mau tak mau rumah harus diserahkan kembali ke bank. Dimana bank tersebut masih memiliki hak penuh terhadap rumah tersebut. Rumah akan disita dan lalu akan di lelang. Besaran nilai lelang pun bank yang menentukan. Nilainya haruslah menutupi kekurangan cicilan nasabah. (Biasanya di lelang jauuuuh di bawah harga pasar agar cepat laku).
Lalu, nasabah yang telah mencicil selama tahunan atau puluhan tahun hanya bisa duduk terpaku penuh nestapa meratapi hilangnya aset disertai dengan kesia-siaan membayar cicilan selama ini. Jarang sekali bahkan hampir tidak pernah bank memberikan kelebihan sisa lelang rumah kepada nasabah.
5. Dikenakan Pinalty jika melunasi lebih cepat
Jika nasabah memiliki rezeki lebih di kemudian hari dan ingin mempercepat pelunasan cicilan rumah tersebut, maka nasabah akan dikenakan pinalty (biaya tambahan). Lalu jika ingin melunasi lebih cepat, maka akan dikenakan “denda” karena “ketidakpatuhan” untuk membayar selama jangka waktu yang disepakati. Memang terdengar lucu. Namun hal tersebut merupakan fakta yang terjadi pada umumnya.
Lima hal tersebutlah yang membuat KPR di Bank Konvensional terasa merugikan dari sisi nasabah. Sedangkan pihak bank tidak akan pernah mau merugi. Perlu diketahui bahwa lima hal tersebut dapat dirasakan, baik secara logika, materi juga secara emosi. Belum lag bila menyinggung masalah dosa riba yang tidak terkira besarnya. Naudzubillah..
Jadi setelah mengetahui informasi ini, masih mau KPR Konvensional? Yuk, sama-sama berhijrah untuk menghindari transaksi ribawi….
(ist/foto ist