Jakarta,-
Segala upaya perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja karena dampaknya sangat buruk bukan saja terhadap buruh yang mengalaminya tapi juga perusahaan. Dan setiap perusahaan, diwakili direksi, bertanggung jawab secara hukum atas setiap kecelakaan kerja yang terjadi di perusahaan tersebut. Normatifnya, pimpinan perusahaanlah yang bertanggung jawab menyelenggarakan keselamatan kerja.
Tanggung jawab itu bukan hanya mengenai kerugian yang timbul akibat kecelakaan, tetapi juga memastikan bahwa pekerja yang mengalami cacat karena kecelakaan tak diputus hubungan kerjanya.
Sesuai UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, pengusaha bertugas menyelenggarakan keselamatan kerja. Guna mencegah terjadinya kecelakaan kerja, pemimpin tempat kerja wajib menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja, baik dalam konteks mencegah kecelakaan kerja, mengatasi kebakaran, dan peningkatan K3, maupun memberi pertolongan pertama ketika terjadi kecelakaan.
Bahkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan lebih tegas mengatur kewajiban pemberi kerja untuk memberi perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan mental dan fisik pekerja. K3 merupakan hak buruh yang harus dilindungi. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
Perusahaan bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja. Perusahaan harus menanggung semua pekerja baik yang sudah atau belum terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan,” urainya.
Pasal 1367 BW (KUH Perdata) yang menegaskan majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu. Pasal ini membuat majikan tidak bisa lepas tanggung jawab dalam hal terjadi kecelakaan kerja.
Selain itu buruh yang mengalami sakit akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja tidak boleh diputus hubungan kerjanya (PHK). Hal itu sebagaimana amanat pasal 153 ayat (1) huruf j UU Ketenagakerjaan.
Namun demikian, harus dibuktikan terlebih dulu apa benar kecelakaan kerja itu terjadi karena pekerjaan yang dikerjakan buruh yang bersangkutan atau ada penyebab lain. Ketika ada putusan pidana yang menyebut buruh bersalah, pemberi kerja bisa melakukan pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan kesalahan berat.
Munculnya kasus K3 selama ini merupakan masalah akut di bidang ketenagakerjaan karena petugas pengawas tidak berfungsi. Peran pengawas harusnya preventif, untuk mencegah terjadinya masalah K3. Praktiknya, fungsi pengawas saat ini lebih ke arah reaktif, padahal ini ranah pengadilan dalam rangka perlindungan hukum represif. Jadi, kasus-kasus kecelakaan kerja tak bisa sepenuhnya dibebankan kepada perusahaan atau direksinya, tetapi juga menunjukkan kurang berfungsinya pengawas ketenagakerjaan.
(gha; foto dok