Jakarta, SBN-
Sistem pemilhan presiden (pilpres) di Indonesia tidak bagus dan bertentangan dengan UUD 1945. Ekonom senior Dr Rizal Ramli menjelaskan bahwa UUD 1945 telah tegas menyebut semua warga negera berhak menjadi Presiden.
“Saya ingin mengatakan sistem pemilihan presiden di Indonesia ini kurang bagus dan tidak benar,(karena) bertentangan dengan UUD,” ujarnya di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar,Jakarta Pusat, pada Kamis (05/07).
Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid kemudian bercerita tentang pertemuannya dengan mantan Perdana Menteri Singapura,Lee Kuan Yew saat berkunjung terakhir kali ke Indonesia beberapa tahun Ialu. Dalam pertemuan itu,dia berdebat soal sistem pemilihan presiden di Indonesia. Hal tersebut di ungkapkan Rizal Ramli dalam Confrensi Pers yang di gelar Senin (09/07),di kediaman Jl.Tebet Barat Dalam IV No.5-7,Jakarta Selatan.
Kata Rizal, Lee Kuan Yew bersikeras mengatakan sistem pemilihan presiden di Indonesia menganut sistem parlementer. Sementara dirinya tidak sependapat dengan Lee Kuan Yew dan menyebut Indonesia menganut sistem presidential.
“Saya ngotot, saya bilang nggak Pak Lee, Indonesia itu presidential. Dia bilang nggak,karena kalau parlementer yang dipilih anggota DPR dulu baru pilih Perdana Menteri atau Presiden seperti kami. Indonesia kan pilih anggota DPR dulu kalian itu parlementer, nah saya baru sadar dari pertanyaan Pak Lee itu,”urainya.
Atas alasan itu,mantan Menko Maritim tersebut menilai sistem pemilihan presiden di Indonesia kurang bagus karena masih di garis abu-abu. Sebab,tidak benar-benar menginjak sistem parlementer maupun presidential. Rizal ingin sistem yang bertentangan dengan UUD 1945 itu diakhiri.
”Nah hari ini sistem kita banci,dibilang parlementer nggak dibilang presidential juga nggak ya. Saya ingin Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah sistem banci ini,yang bertentangan dengan UUD 45,”sambungnya.
Dia menyebut bahwa sistem yang dianut Indonesia saat ini juga melanggengkan money politik dan praktik politik dagang sapi, dimana orang yang tidak kompeten tetap didukung partai karena memiliki uang. la kemudian mencontohkan proses pemilihan di Prancis. Saat itu, Emmanuel Macron yang merupakan tokoh baru membuat partai dengan berbekal anggora di Facebook yang berjumlah 200 ribu orang.
Namun,partai besutan Emmanuel Macron itu bisa ikut pemilu melawan partai dan tokoh besar. Partai tersebut bahkan tampil sebagai pemenang karena rakyat Prancis ingin perubahan di negaranya. “ltu kan aspirasi rakyat kalau lihat ceritanya,rakyat memilih presiden dulu,habis itu memilih anggota DPR-nya menang mayoritas. Presiden tidak perlu dagang sapi dengan partai, tidak perlu bagi-bagi duit,”ujar capres rakyat itu.
“Tidak perlu juga bertukar menteri yang kagak becus diangkat jadi menteri hanya karena pertimbangan partai,itulah sistem presidential yang sesungguhnya,” tegas pria yang akrab disapa RR itu. (Bgs/tjo)